Hal itu disadari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam rapat pleno di Jakarta (28/7/2024), yang antara lain dengan langsung memerintahkan penarikan buku sejarah kontroversial, yang dinilai memuat pernyataan sejarah NU yang tak sesuai dengan fakta.
Buku itu menyebut salah satu pendiri NU adalah kakek dari Habib Lutfhi bin Yahya Pekalongan, yaitu Habib Hasyim bin Yahya. Buku Pelajaran Ahlussunnah Waljamaah Ke-NU-an Jilid I untuk Kelas 2 itu diterbitkan oleh RMI PCNU Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, yang juga beredar di lingkungan satuan-satuan Pendidikan Ma’arif NU.
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menilai hal itu berpotensi menimbulkan penyesatan sejarah, sehingga peran dakwah Islam di Indonesia bukan dari para Walisongo yang dilanjutkan para ulama NU se-Nusantara melalui dakwah berpola Islam rahmatan lil alamin, namun justru ada peran ulama dari luar, yaitu Yaman.
Perintah pelurusan sejarah dari PBNU itu didukung Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim KH Agoes Ali Mashuri dan mantan asisten pribadi tokoh NU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yakni KH Ahmad Muwafiq, yang juga dikenal sebagai "sejarahwan" NU, melalui kanal YouTube.
Menurut KH Agoes Ali Mashuri, penyebar Islam di Indonesia yang pertama kali datang adalah para Walisongo pada tahun 1400-an, lalu datang para habib dari Yaman dalam dua gelombang pada tahun 1800-an. Soal tahun kedatangan "dakwah" Walisongo itu "klop" dengan data Sunan Ampel yang lahir tahun 1401 (822 H) dan wafat tahun 1480 (901 H). Masjid Ampel Surabaya sendiri dibangun pada 1421 (Sunan Ampel usia 20 tahun). Maulana Malik Ibrahim Gresik juga wafat 1401 (822 H).
Data akurat KH Agoes Ali Mashuri itu diperkuat dengan Sensus Belanda pada 1859 yang mencatat jumlah Hadrami (keturunan Hadramaut, Yaman) mencapai 7.786 jiwa di Jawa dan luar Jawa. Diperkirakan, para Hadrami itu muncul sejak 1820 (VOC datang 1700-an). Jadi, data tahun 1800-an itu meyakinkan bahwa keturunan Yaman datang belakangan, setelah Walisongo pada tahun 1400-an atau selisih empat abad.
Dalam footnote Bab VI dari buku "framing" itu menerangkan sejarah lahirnya NU, disebut versi lain bahwa bukan semata-mata KH Hasyim Asy’ari ingin berinovasi dalam pembentukan NU, tetapi kondisi pada waktu itu memang sudah sampai pada kondisi darurat, sehingga wajib mendirikan sebuah wadah.
Menjelang berdirinya NU, beberapa ulama besar berkumpul di Masjidil Haram, Mekkah, Saudi Arabia. Mereka menyimpulkan bahwa sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Aswaja. Akhirnya, para ulama Haramain melakukan istikharah.
Hasilnya, mereka mengutus KH Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia agar menemui dua orang yang diyakini sebagai kekasih Allah. Kalau dua orang ini mengiyakan, maka rencana pembuatan wadah untuk Aswaja akan dilanjutkan. Kalau tidak, maka jangan diteruskan.
Dua orang tersebut adalah Habib Hasyim bin Umar bin Thoha bin Yahya, Pekalongan (kakek maulana Habib Muhammad Lutfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya). Satunya lagi, Syeikhona Muhammad Kholil Bangkalan, Madura.
Sejarah di atas disampaikan oleh Maulana Al-Habib Luthfi bin Yahya (Rais ‘Aam Jam’iyah Ahlu Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdiyah pada Harlah NU di Kota Pekalongan pada 2010, lalu ditulis, meski Habib Hasyim bin Yahya disebut tidak terlalu berkenan, tapi sejarah tidak akan ditemukan lagi di kemudian hari, sehingga "sejarah" pun ditulis.
Pelurusan sejarah
Untuk merespons "framing" itu, PBNU telah memerintahkan kepada lembaga pendidikan Ma'arif dan Rabithah Ma'ahid Al Islamiyah atau asosiasi pesantren-pesantren, untuk meneliti menyeluruh terhadap laporan penyimpangan narasi tentang sejarah berdirinya NU.
Agaknya, era digital memang memungkinkan munculnya "framing" atau pembelokan atas sejarah terhadap fakta-fakta pembentukan NU di Kertopaten Gang 3, Surabaya, yang tersebar dalam situs wiki dan video yang menyebut bahwa NU lahir karena seorang habaib.
Dalam situs wiki dan video itu ada kisah bahwa KH Hasyim Asy'ari sempat bingung, lalu pergi ke Masjidil Haram untuk istikharah dan menemui KH Mahfudz At-Termas serta KH Ahmad Nahrowi. Keduanya memerintahkan kembali ke Jawa dan menemui dua orang yang jika keduanya mengiyakan, maka jalan terus, yakni Habib Hasyim bin Umar Pekalongan dan Syaikhona Kiai Kholil, Bangkalan.
Tanpa bermaksud menyoal keberadaan habib, karena memang ada habib yang berjasa (misalnya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf yang berikhtiar mendamaikan perseteruan RA dan Al-Irsyad pada 1916), maka Gus Ainur Rofiq Al-Amien, dari Pesantren Tambakberas, Jombang, Jatim, berusaha "meluruskan" data yang tak berbasis bukti akurat itu dalam akun FB-nya (FB berbasis data sejarah).
Gus Ainur mengutip buku yang ditulis KH Abdul Karim Hasyim (putra KH Hasyim Ay'ari) pada tahun 1949 bahwa ayahnya pergi ke Makkah bersama istrinya tahun 1892, lalu istrinya hamil dan melahirkan anaknya di Makkah, tapi istri dan anaknya meninggal di Tanah Suci, lalu KH Hasyim Asy'ari kembali ke Indonesia.
Selang setahun, KH Hasyim Asy'ari balik lagi ke Makkah pada tahun 1893 hingga 7 tahun dan akhirnya kembali ke Indonesia. Jadi, belum ada data KH Hasyim Asy'ari ke Makkah setelah tahun 1900, apalagi menjelang berdirinya NU (1926), lalu putra habaib tentang video kepergian KH Hasyim Asy'ari ke Makkah itu tahun berapa?
Pertanyaan lain, KH Mahfud Termas itu wafat tahun 1920, padahal NU berdiri tahun 1926. Artinya, KH Hasyim Asy'ari itu "bingung" selama 6 tahun lebih (1920-1926), padahal salah satu pengurus pertama NU KH Abdul Halim Leumunding, dalam bukunya bahwa KH Hasyim Asy'ari itu "berpikir" selama 3 tahun hingga memutuskan kelahiran NU.
"Mas Dzul Halim (Abdul Halim), sebelum NU berdiri, saya kasihan kepada Kiai Abdul Wahab yang ditendang sana-sini, mau membentuk (organisasi) tidak dapat izin. Tiga tahun itulah, saya memikirkan, barulah sekarang terdapat jalan," kata KH Abdul Halim, dikutip Gus Ainur Rofiq.
Istilah "bingung" (putra habaib) atau "berpikir" (KH Abdul Halim) itu lebih bisa diterima bila mengacu Kisah KH Cholil Bangkalan (wafat 1925) yang mengutus KH As'ad Syamsul Arifin, yang hal itu mendekati berdirinya NU (1926), dan kisah KH As'ad itu juga logis bila digabungkan dengan Kisah KH Zainuddin Nganjuk (Buku Tambakberas).
Selain itu, pernyataan Kiai Cholil Bangkalan kepada KH Hasyim Asy'ari, yakni "Putusanku sama dengan Bib Hasyim" juga patut dipertanyakan, karena KH Hasyim Asy'ari memang pernah mondok ke Kiai Cholil Bangkalan, tapi belum ada data sejarah kalau KH Hasyim Asy'ari pernah mondok di Habib Hasyim Pekalongan.
Oleh karena itu diksi "ridho" dari Habib Hasyim dan posisi sentral Habib Hasyim yang didatangi lebih dulu, sebelum Kiai Cholil Bangkalan, adalah data yang tidak pasti. Apalagi, putra habib bilang kalau kisah di atas dilarang untuk ditulis, tapi mengapa sekarang sampai ke masyarakat?
Walhasil, kisah "restu" habib itu tidak berbasis data sejarah yang akurat dan layak dipercaya. Pandangan Gus Ainur Rofiq dari Tambakberas, Jombang, itu juga diperkuat oleh periset sejarah NU yang juga "dzurriyah" Gipo, yakni Asrul Sani bahwa peran Habib Hasyim bin Umar Pekalongan itu tidak pernah ada dalam "perjalanan" embrio NU di Surabaya, hingga berdirinya NU.
Fakta itu diperkuat lagi oleh pemerhati sejarah NU yang juga anggota Tim Kerja Museum NU/Resolusi Jihad, Riadi Ngasiran, bahwa Statuten Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO), juga tidak menyebutkan nama Habib Hasyim bin Yahya sebagai salah satu pendiri NU.
Menurut Riadi, ada satu tokoh yang meskipun tidak disebut resmi dalam statuten pendirian NU, 31 Januari 1926, tapi justru menjadi inspirator berdirinya NU, yaitu Syeikhona Muhammad Cholil Al-Bankalany, karena pendirian NU secara asbabul wurud tak lepas dari ulama pesantren yang menjadi guru para kiai pada zaman itu. Di luar itu cuma klaim sepihak.
Bukti paling kuat justru datang dari pelaku sejarah sendiri, yakni KH As'ad Syamsul Arifin (almarhum, pengasuh Pesantren Asembagus, Situbondo, Jatim), saat pengajian tahun 1986 (usia 89 tahun), yang ada rekaman video-nya saat pidato dalam logat Madura yang juga viral.
Saat itu, Kiai As'ad menceritakan dirinya dipanggil Syaikhona Cholil, Bangkalan, saat mondok di Bangkalan, pada tahun 1924 dan diminta mengantarkan tongkat ke KHM Hasyim Asy'ari di Jombang dengan diberi ongkos 2 ringgit.
Setiba di Jombang, KHM Hasyim Asy'ari sempat menolak dengan meminta pesan dari Syaikhona Cholil dan akhirnya disampaikan ayat Al-Qur'an tentang tongkat Nabi Musa untuk melawan Fir'aun. Pesan dari ayat Al-Qur'an itu membuat KHM Hasyim Asy'ari menerima tongkat itu sebagai amanah memimpin umat Islam dalam paham Ahlussunnah wal Jamaah. KH Hasyim Asy'ari pun siap memimpin "jam'iyatul ulama" itu sebelum muncul nama NU.
Gagasan pembentukan NU yang dimulai dari istikharah KH Syaikhona Cholil Bangkalan, yang disampaikan KH As'ad Syamsul Arifin pada kurun 1924-1926 itu akhirnya diwujudkan KH Hasyim Asy'ari dengan memerintahkan KH Wahab Hasbullah dkk untuk mengundang para kiai se-Jawa dan Madura serta 3-4 kiai dari luar Jawa untuk bertemu di Kertopaten, Gg 3, Surabaya, pada 31 Januari 1926.
Selain istikharah, NU juga dilatari lahirnya sejumlah "embrio" gerakan ulama, mulai dari Nahdlatul Wathan (1914), Nahdlatut Tujjar (NT) 1918. NT dirintis oleh 45 pengusaha Surabaya-Kediri di Cukir, Jombang, pada 1910-an, lalu dideklarasikan KHM Hasyim Asy'ari pada 1918, Taswirul Afkar (1919), dan Komite Hijaz.
Dari fakta-fakta akurat yang diperkuat bukti fisik (situs/bangunan/ historis) dan bukti non-fisik (dokumen tertulis/saksi sejarah/riset), agaknya langkah PBNU untuk "meluruskan" apa yang disebut "framing" dalam "buku" sejarah NU itu memiliki data akurat. Jadi, polemik digital yang menunjukkan kemajuan saat ini masih sebatas kemajuan teknologi, bukan kemajuan akhlak, agaknya cukup "di-cut" dengan bukti historis.
Copyright © ANTARA 2024